Oleh : Inggar Saputra (Praktisi pendidikan & Kebangsaan)
Manusia dilahirkan ke dunia penuh rasa cinta. Cinta Allah SWT kepada manusia hadir melalui Adam. Sosok manusia yang mengajarkan manusia menjaga cinta kepada Allah SWT. Melalui kisah nabiyullah Adam, kita diajak belajar makna hidup. Mengenal makna kejujuran, kesetiaan, pengabdian seorang hamba, cinta dan kasih sayang. Melalui kasih sayangnya, Allah SWT memberikan nabiyullah Adam pasangan hidupnya. Meski keduanya terbukti melanggar perintah Allah SWT, atas nama cinta kemudian keduanya diterima taubatnya. Cinta juga yang menggerakkan kedua hati yang terpisah, menyatu dan membina hubungan rumah tangga.
Setelah berganti zaman dan generasi, kita mulai merasakan kehilangan aura cinta. Kekerasan, tragedi kemanusiaan, perampasan hak manusia, pembunuhan akibat kebencian masuk dalam kehidupan manusia. Sangat mudah menemukan nyawa yang hilang. Tetapi sungguh sulit menemukan cinta dan kasih sayang sebagai fitrah dasar manusia. Manusia bergerak semakin modern, tetapi dunia membutakan segalanya. Sehingga akhirat bukan lagi sebagai tujuan. Untuk mereka yang kehilangan cinta dalam hidupnya. Mari katakan dengan kalimat menyentuh, lembut dan bijaksana ini ”Letakkan dunia itu di tanganmu, jangan di hatimu” Cinta di hati biarlah untuk pemilik jiwa, Allah SWT. Tetapi cinta manusia dan kehidupan duniawi, cukup taruh di tangan Anda.
Belakangan dunia memang semakin dilanda kekeringan rasa cinta. Manusia bergerak atas dasar sentimen agama, kemudian merasa dirinya paling benar. Terjadilah konflik kerukunan umat beragama sampai radikalisme di berbagai belahan dunia. Kita dilanda krisis empati, maka terjadilah pembungkaman atas derita kemanusiaan di jalur Gaza. Kesedihan pula yang melanda etnis Rohingya di Myanmar, menyaksikan kebebasan agama dirusak dengan senjata. Kebencian yang sama dirasakan muslim Uighur yang kehilangan kebebasan dalam menjalankan ibadah dan ajaran agamanya. Di Indonesia, sering pula kita melihat terkikisnya cinta dan ajaran kasih sayang dalam berbagai konflik antar umat beragama. Sungguh miris, padahal Rasulullah SAW teladan umat Islam sedunia membawa Islam dengan cinta, rahmat dan kasih sayang untuk alam semesta, termasuk manusia. ”Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam) (QS. Al-Anbiya: 107)
Jiwa yang padam rasa cinta juga belakangan ini merusak lingkungan hidup, sehingga alam tidak lagi terkembang. Hutan dirusak dengan berdalih berbagai macam pembangunan. Kita kehilangan paru-paru dunia, tak heran banyak dada yang merasa sesak setiap asap berhembus dari kebakaran hutan. Gedung tinggi berdiri megah, sementara pepohonan terus ditebang agar menjadi kertas. Tak ketinggalan laut yang dirusak atas nama keserakahan umat manusia. Ekosistem lingkungan hidup semakin parah kerusakannya hampir setiap hari. Tetapi semua mata, hati dan pikiran seketika sibuk menyalahkan ketika terjadi banjir. Derasnya banjir akibat kerusakan lingkungan alam, lautan, pepohonan, apakah akan membuat sadar? Bagi hati dan jiwa yang tenang tentu kesadaran itu harus muncul. Kesadaran yang perlu dibarengi refleksi atas firman Allah
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia. (Melalui hal itu) Allah membuat mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS Ar Rum: 41)”
Di tengah ancaman kehilangan cinta, kita menemukan bagaimana setiap manusia bersaing antar kelompoknya. Senjata kata-kata berubah menjadi ujaran kebencian, pemberitaan bohong dan menyesatkan. Kita semakin tipis melihat kedustaan dan kebenaran atas sebuah informasi. Di Indonesia, maraknya pemberitaan menyesatkan menyebabkan krisis kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Nasionalisme pun semakin hilang membaca berita semakin sulitnya mengakses lapangan kerja dan pendidikan negeri ini. Di tengah berbagai usaha pemerintah meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan memperbaiki kerusakan yang ada. Sebagian orang memilih beramai-ramai ”meneriakkan” cerita dunia maya melalui tagar kabur aja dulu. Inilah realitas ketika sebagian memilih berpindah tempat di tengah berbagai kesulitan yang ada di negeri ini. Kita memang sulit, tapi rasa cinta kepada negara dan agama selayaknya tidak luntur. Kita boleh sedih melihat kondisi Indonesia, tapi memilih tetap optimis sepantasnya menjadi pilihan terbaik. Islam mendidik kita dalam sebuah firman Allah SWT. “Jangan engkau bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita” (QS At Taubah: 40).
Membaca masalah yang ada, belakangan ini pemerintah khususnya Kementerian Agama berinisiatif membuat kurikulum cinta. Tiga sasaran utamanya, bagaimana kita mencinta lingkungan (ekoteologi), kerukunan (toleransi) dan nasionalisme. Ketika dunia dilanda ancaman perubahan iklim dan kita melihat bencana alam sebagai teman keseharian. Penting mengajarkan, mendidik dan saling menasehati antara guru dan peserta didik agar mengenal pentingnya menjaga kelestarian lingkungan hidup. Allah SWT sungguh baik memberikan kita peran hebat dalam mengelola alam semesta termasuk lingkungan hidup. Tugas kita menjaganya, mengelola sesuai kebutuhan dan menjauhkan diri dari sikap keserakahan. Jangan sampai kerusakan alam yang kita buat sekarang, derita berkepanjangan ditanggung generasi penerus kita nantinya.
Ancaman intoleran, saling menyalahkan dan membenci satu sama lain karena perbedaan keyakinan merupakan realitas nyata bangsa Indonesia termasuk di kalangan pelajar. Sebagai sebuah ancaman, dibutuhkan tindakan reflektif dan mitigasi resiko, salah satunya menanamkan kerukunan dan tolerasi antar umat seagaman dan beragama. Kebiasaan merasa paling benar dalam beribadah, orang lain salah perlu diluruskan pemahaman tersebut. Seperti pula kebiasaan menyalahkan orang yang berbeda keyakinan dengan prinsip keagamaan kita. Dalam sebuah kisah, diceritakan bagaimana suatu ketika Idham Khalid sebagai salah seorang ketua NU naik haji satu kapal dengan Buya Hamka yang merupakan tokoh Muhammadiyah. Setiap Subuh diadakan sholat berjamaah dengan imam sholat bergantian. Ketika Idham khalid menjadi imam, dia berqunut. Buya Hamka yang menjadi makmum ikut berqunut. Dalam hari yang lain, Buya Hamka memimpin sebagai imam, ia tidak berqunut. Idham Khalid mengikuti tidak berqunut, tanpa mengulangi sholatnya. Hal ini menegaskan perbedaan dalam ibadah tidak boleh mengalahkan persaudaraan umat beragama dan perasaan kebangsaan (Nasir, 2025)
Terakhir, dunia boleh berubah, sekolah boleh tinggi sampai luar negeri, kehidupan di Indonesia boleh dinamis. Tapi jangan sekali-kali apapun yang terjadi dalam kehidupan kebangsaan, membuat kita lupa nasionalisme dan perasaan cinta tanah air. Direktur Jenderal Pendidikan Islam, Amien Suyitno (2025) mengatakan, ”Saat ini banyak anak-anak Indonesia yang setelah belajar di luar negeri, justru lebih merasa menjadi orang luar dibandingkan bagian dari bangsanya sendiri. Kita ingin menginsersi agar anak-anak kita tetap berpegang teguh pada akar budayanya” Sebuah kalimat yang menegaskan, bagaimana perjuangan membesarkan bangsa Indonesia membutuhkan ikatan kuat kebangsaan, itulah nasionalisme. Meski ada badai dan tantangan, tetaplah menjaga bumi Indonesia sebagaimana ajaran para pendiri bangsa. Sebagaimana sajak penyair Belgia, Rene de Clerq, yang sering diingatkan Bung Hatta buat kita semua, ” Hanya satu tanah yang bisa disebut tanah airku. Ia berkembang dengan usaha, dan usaha itu adalah usahaku.”